Get Free Music at www.divine-music.info
Get Free Music at www.divine-music.info

Free Music at divine-music.info

Sabtu, 14 Juli 2012

Sang Biarawati

"Untuk mencegah kian banyaknya jumlah korban jiwa yang jatuh akibat amunisi, kita harus mundur dalam pola yang teratur ke dalam kota yang tidak dikenal musuh dan di sana kita bangun strategi baru lagi," kata sang jenderal dengan wajah tegang karena tidak ada jalan lain kecuali mengumandangkan perintah itu. "Kita akan berjalan menembus hutan belantara. Itu akan lebih baik daripada kita kemudian terhalang oleh musuh. Kita akan menuju sebuah markas, barulah di sana kita akan beristirahat dan menambah bahan makanan."

Balatentaranya menyetujui, lantaran dalam situasi genting seperti itu tidak ada pilihan yang lebih baik. Mereka berjalan menembus rimba belantara selamat empat hari di bawah berbagai tekanan teriknya siang, dinginnya malam menusuk tulang, haus dan lapar. Sampai suatu ketika mereka melihat sebuah bangunan yang menjulang seperti sebuah kastil kuno. Pintu gerbang layaknya sebuah kota bertembok. Pemandangan itu membangkitkan kegembiraan di hati. Mereka menyangka bahwa inilah markas yang mereka tuju untuk beristirahat dan mengumpulkan makanan.

Sewaktu mereka membuka gerbang, sampai beberapa saat tak ada seorang pun yang menyambut. Lalu, seorang wanita berjubah hitam, dimana wajahnya merupakan satu-satunya bagian tubuh yang tampak, menyembul dipuntu. Ia memberi penjelasan kepada jenderal bahwa tempat itu adalah sebuah biara khusus wanita yang harus diperlakukan seperti lazimnya. Tidak boleh ada kekerasan pada para biarawati. Jenderal memberikan jaminan dan meminta makanan untuk balatentaranya pada wanita itu. Mereka beristirahat disebuah sisi biara itu.

Jenderal itu adalah sosok lelaki dengan usia sekitar empat puluh tahunan, seorang yang keji dan tak pernah menikah. Ia berhasrat mencari kesenangan dengan melampiaskannya pada salah seorang biarawati, akibat tertekan oleh kekhawatiran selama pertempuran. Nafsu jadah itu mendorongnya mengotori tempat suci itu, tempat dimana para biarawati berhubungan dan memanjatkan doa pada Tuhan tanpa lelah, tempat yang jauh dari dunia yang kacau dan balau.

Akibat nafsu itu, jenderal lupa atas janjinya pada pemimpin biara. Ia memanjati sebuah tiang yang menuju kesebuah ruangan yang dihuni seorang biarawati yang sempat dilihatnya melalui jendela. Kehidupannya yang tenggelam dalam doa dan pengasiangan sama sekali tidak pernah berhasil mengikis gurat-gurat kecantikan wajah biarawati itu. Ia muncul layaknya pengembara disebuah dunia yang penuh durja ketengah rimba yang memungkinkannya menyembah Tuhan tanpa gangguan apapun. Jenderal itu mencabut pedangnya dan mengancam akan membantai biarawati itu jika berteriak atau berupaya meminta pertolongan.

Biarawati itu hanya tersenyum dan diam, seakan-akan ia sengaja ingin memuaskan tuntutan jenderal itu. "Duduklah dan beristirahatlah, kulihat kau sangat kelelahan," ujarnya setelah menatap lelaki keji itu.

Merasa yakin atas mangsa dihadapannya, jenderal itu duduk didekatnya.

"Aku kagum padamu, Prajurit, akan keberanianmu melemparkan dirimu ketengah pertempuran yang mengincarkan maut," lanjut biarawati itu.

Jenderal yang pengecut dan bodoh itu menyahut, "situasi yang memaksa kami memasuki medan perang. Seumpama saja orang luas tidak akan memanggilku pengecut, tentu aku tidak mungking sudi memimpin balatentara durja itu."

"Apakah kau tidak tahu bahwa ditempat kudu ini kami memiliki ramuan ajaib yang akan melindungi tubuhmu dari runcing panah dan tajam pedang bila kau oleskan?" sahut biarawati itu seraya tersenyum.

"Betulkah? Dimana ramuan itu? Tentu sekarang ini aku sangat membutuhkannya!"

"Tentu aku sudi memberikan sebagian padamu."

Jenderal itu sama sekali tidak meragukan ucapan biarawati itu, lantaran ia dilahirkan diantara kelompok orang yang masih sangat mempercayai takhayul. Biarawati menjamah sebuah botol yang berisi cairan putih. Jenderal itu mulai sangsi menyaksikannya. Namun kemudian biarawati itu mengeluarkan sedikit cairan dari botol itu, lalu memoleskannya kelehernya sendiri dan berucap, "Aku akan membuktikannya padamu bila kau tak mempercayaiku. Lolos pedangmu, tebaskan keleherku sekuat tenagamu!"

Akhirnya jenderal yang memimpin balatentara perang itu menebaskan pedangnya sekuat tenaga, kendati sebenarnya ia ragu. Ia melakukannya karena terus ditekan oleh biarawati itu.

Diakhir tebasan, disaksikannya kepala biarawati itu menggelinding dari tubuhnya yang rebah ketanah tanpa bergerak sedikitpun. Sontak ia menyadari bahwa semua ini hanyalah tipu muslihat biarawati itu untuk mempertahankan diri dari perbuatan nista itu.

Sang biarawati yang perawan mati...

Sementara sang jenderal menyaksikan dua benda dihadapannya: mayat sang biarawati dan cairan putih itu. Ia lantas menendang pintu karena kehilangan akal, berlari keluar, seraya membawa pedang yang masih berlumuran darah. Ia memekik pada balatentaranya: "Ayoooo.. Tinggalkan tempat ini..!!!"

Ia tak menghentikan laju larinya sampai kemudian beberapa tentara menemukannya sedang meratap seperti anak kecil yang kehilangan ibunya: "Akulah yang membunuhnya, akulah yang membunuhnya....!"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar