"Untuk mencegah kian banyaknya jumlah korban jiwa yang jatuh akibat
amunisi, kita harus mundur dalam pola yang teratur ke dalam kota yang
tidak dikenal musuh dan di sana kita bangun strategi baru lagi," kata
sang jenderal dengan wajah tegang karena tidak ada jalan lain kecuali
mengumandangkan perintah itu. "Kita akan berjalan menembus hutan
belantara. Itu akan lebih baik daripada kita kemudian terhalang oleh
musuh. Kita akan menuju sebuah markas, barulah di sana kita akan
beristirahat dan menambah bahan makanan."
Balatentaranya menyetujui, lantaran dalam situasi genting seperti
itu tidak ada pilihan yang lebih baik. Mereka berjalan menembus rimba
belantara selamat empat hari di bawah berbagai tekanan teriknya siang,
dinginnya malam menusuk tulang, haus dan lapar. Sampai suatu ketika
mereka melihat sebuah bangunan yang menjulang seperti sebuah kastil
kuno. Pintu gerbang layaknya sebuah kota bertembok. Pemandangan itu
membangkitkan kegembiraan di hati. Mereka menyangka bahwa inilah markas
yang mereka tuju untuk beristirahat dan mengumpulkan makanan.
Sewaktu mereka membuka gerbang, sampai beberapa saat tak ada seorang
pun yang menyambut. Lalu, seorang wanita berjubah hitam, dimana
wajahnya merupakan satu-satunya bagian tubuh yang tampak, menyembul
dipuntu. Ia memberi penjelasan kepada jenderal bahwa tempat itu adalah
sebuah biara khusus wanita yang harus diperlakukan seperti lazimnya.
Tidak boleh ada kekerasan pada para biarawati. Jenderal memberikan
jaminan dan meminta makanan untuk balatentaranya pada wanita itu. Mereka
beristirahat disebuah sisi biara itu.
Jenderal itu adalah sosok lelaki dengan usia sekitar empat puluh
tahunan, seorang yang keji dan tak pernah menikah. Ia berhasrat mencari
kesenangan dengan melampiaskannya pada salah seorang biarawati, akibat
tertekan oleh kekhawatiran selama pertempuran. Nafsu jadah itu
mendorongnya mengotori tempat suci itu, tempat dimana para biarawati
berhubungan dan memanjatkan doa pada Tuhan tanpa lelah, tempat yang jauh
dari dunia yang kacau dan balau.
Akibat nafsu itu, jenderal lupa atas janjinya pada pemimpin biara.
Ia memanjati sebuah tiang yang menuju kesebuah ruangan yang dihuni
seorang biarawati yang sempat dilihatnya melalui jendela. Kehidupannya
yang tenggelam dalam doa dan pengasiangan sama sekali tidak pernah
berhasil mengikis gurat-gurat kecantikan wajah biarawati itu. Ia muncul
layaknya pengembara disebuah dunia yang penuh durja ketengah rimba yang
memungkinkannya menyembah Tuhan tanpa gangguan apapun. Jenderal itu
mencabut pedangnya dan mengancam akan membantai biarawati itu jika
berteriak atau berupaya meminta pertolongan.
Biarawati itu hanya tersenyum dan diam, seakan-akan ia sengaja ingin
memuaskan tuntutan jenderal itu. "Duduklah dan beristirahatlah, kulihat
kau sangat kelelahan," ujarnya setelah menatap lelaki keji itu.
Merasa yakin atas mangsa dihadapannya, jenderal itu duduk didekatnya.
"Aku kagum padamu, Prajurit, akan keberanianmu melemparkan dirimu
ketengah pertempuran yang mengincarkan maut," lanjut biarawati itu.
Jenderal yang pengecut dan bodoh itu menyahut, "situasi yang memaksa
kami memasuki medan perang. Seumpama saja orang luas tidak akan
memanggilku pengecut, tentu aku tidak mungking sudi memimpin balatentara
durja itu."
"Apakah kau tidak tahu bahwa ditempat kudu ini kami memiliki ramuan
ajaib yang akan melindungi tubuhmu dari runcing panah dan tajam pedang
bila kau oleskan?" sahut biarawati itu seraya tersenyum.
"Betulkah? Dimana ramuan itu? Tentu sekarang ini aku sangat membutuhkannya!"
"Tentu aku sudi memberikan sebagian padamu."
Jenderal itu sama sekali tidak meragukan ucapan biarawati itu,
lantaran ia dilahirkan diantara kelompok orang yang masih sangat
mempercayai takhayul. Biarawati menjamah sebuah botol yang berisi cairan
putih. Jenderal itu mulai sangsi menyaksikannya. Namun kemudian
biarawati itu mengeluarkan sedikit cairan dari botol itu, lalu
memoleskannya kelehernya sendiri dan berucap, "Aku akan membuktikannya
padamu bila kau tak mempercayaiku. Lolos pedangmu, tebaskan keleherku
sekuat tenagamu!"
Akhirnya jenderal yang memimpin balatentara perang itu menebaskan
pedangnya sekuat tenaga, kendati sebenarnya ia ragu. Ia melakukannya
karena terus ditekan oleh biarawati itu.
Diakhir tebasan, disaksikannya kepala biarawati itu menggelinding
dari tubuhnya yang rebah ketanah tanpa bergerak sedikitpun. Sontak ia
menyadari bahwa semua ini hanyalah tipu muslihat biarawati itu untuk
mempertahankan diri dari perbuatan nista itu.
Sang biarawati yang perawan mati...
Sementara sang jenderal menyaksikan dua benda dihadapannya: mayat
sang biarawati dan cairan putih itu. Ia lantas menendang pintu karena
kehilangan akal, berlari keluar, seraya membawa pedang yang masih
berlumuran darah. Ia memekik pada balatentaranya: "Ayoooo.. Tinggalkan
tempat ini..!!!"
Ia tak menghentikan laju larinya sampai kemudian beberapa tentara
menemukannya sedang meratap seperti anak kecil yang kehilangan ibunya:
"Akulah yang membunuhnya, akulah yang membunuhnya....!"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar